Senin, 08 April 2013

Aku dan Dia Duduk Menyaksikan Perseids

Malam itu, kami berada di puncak Planetarium. "Coba lihat ini." Yun yang tadi duduk, berdiri, dan memasukkan bola matanya ke pangkal teropong. Bersama-sama kami seakan naik menuju atap bumi.

Malam menyelimuti kami. Hujan meteor seperti kembang api, percikan-percikan cahaya dalam kabut kegelapan. "Wah, seru!" teriak Yun, lalu ia berbaring agar bisa melihat lebih jelas.

"Itu Perseids," kataku memberitahunya. "Hujan meteor."

Bintang jatuh sebenarnya sama sekali bukan bintang. Itu hanyalah bebatuan yang memasuki atmosfer dan mengeluarkan api akibat gesekan. Saat kita melihat bintang jatuh, dan mengucapkan harapan, sebenarnya harapan itu hanyalah jejak luka dari sisa-sisa batu yang terkikis.

"Asyik kali ya kalau ada bintang yang mendarat di halaman? Dan kita bisa menemukannya saat terbangun lalu menaruhnya di mangkuk akuarium dan menggunakannya sebagai lampu penerang saat kita berjalan di halaman belakang."

Aku hampir bisa membayangkan Yun melakukannya, menyisir rumput halaman untuk menemukan tanda-tanda rumput terbakar.

"Apakah menurutmu, kita bisa membawanya dalam kehidupan kita? Alat yang dapat mempertemukan kita saat kita terpisah di koridor gelap?"

Tatapan Yun begitu tajam, aku tahu ia ingin bertanya apakah aku tidak akan meninggalkannya?

Setiap detik, muncul pancaran sinar keperakan. Aku dan dia ingin di tempat yang sama saat jiwa-jiwa yang terbuat dari cahaya menjemput kami. Kata-kata itu terlalu sulit diucpakan.


Dalam kesendirian. Aku bangkit dari memory saat duduk bersamanya menyaksikan Perseids. Itu sudah lama sekali. Tapi aku selalu percaya, Tuhan akan mempertemukan kami. Di kehidupan ini, atau di sisi yang berbeda.

By : Yuda Tarman
Gambar : Dikutip dari http://www.imajie.com/2010_08_01_archive.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar