Jumat, 20 Juli 2012

Penyambung Tangan Tuhan


Perempuan itu sedang membaca kitab. Tapi sore Sabtu itu, sesampainya di rumah ia kecewa berat karena mendapati hatinya terkoyak, akibat hubungan dualisme ibu dan janin besar yang sangat memprihatinkan. Ia memiliki sebuah analisa, bahwa setiap manusia di dunia ini kemungkinan besar pernah berada di titik-titik krisis menuju pendewasaan diri. Tapi yang ia tidak setuju, janin besar itu masih saja belum dewasa ketika usianya sebaya dengan kakek saya.

Aku paling salut dengan satu hal, ketika seseorang begitu berani menunjukkan kelemahan diri di hadapan ibunya. Tidak semua orang sanggup dan bisa melakukan hal itu. Padahal salah satu modal beragama adalah tunduk pada perempuan penyambung tangan Tuhan itu.

Bagiku kunci kesuksesan dikuasai oleh dua hal, restu Tuhan dan restu ibu. Dalam dialog-dialog saya membahas dualisme antara janin besar dan ibunya yang benar-benar realitas? Hubungan yang menyimpang? Hati serasa ingin mengkritik hubungan dualisme itu. Hubungan yang diyakini abadi itu, dikoyak-koyak oleh kekerasan hati seorang anak. Yang mungkin diciptakan Tuhan sebagai pelengkap pemberontak di akhir zaman. 

Ada pesan dari penulis yang ingin disampaikan:
"Hati ibu yang digoncangkan, sepengetahuan saya adalah anak yang rapuh, jiwa yang menipu. Hati-Hati!"

By Wahyu Tarman
Ditulis dengan kejujuran hati

Kamis, 19 Juli 2012

Riwayat Tanpa Judul


 

Ia terbangun pada suatu hari ketika gelap mengepung jendela. Tak jelas, apakah ini malam, pagi buta, atau gerhana cincin. Dingin menjelma sebentuk lukisan dan bayangan mirip sayatan niddle di ruang operasi. Di luar jendela, udara hangat oleh daun-daun yang ranum. Sudah lama paru-parunya di isi oleh asap tembakau dalam ruang sempit memilukan. Itu yang membuatnya melangkah kebelakang agar pohon besar itu memberinya sedikit hembusan nafasnya.

Ini adalah sebuah riwayat tanpa judul. Karena tak ada kata yang tepat mendeskripsikan kesedihannya. Bahkan kata 'malam' pun tak mampu menjadi kata yang tepat, meski kata itu menjadi situasi favorit bagi beberapa penulis. Di atas deret jembatan rapuh ia mengaduh pada Tuhan.

"Betapa kini kita telah menempuh dua jalan yang berbeda. Kau berjalan ke timur, dan aku menempuh sisi lain dari bumi ini. Sungguh kau tega amnesia ketika aku di sini, sedang mati-matian melupakanmu."

~ Wahyu Tarman ~
Mengalir begitu saja di marina coffe

Rabu, 18 Juli 2012

Filosofi Seorang Penulis



Kendati hurufnya kecil-kecil menyiksa penglihatan, seratus halaman berlalu dalam semalam. Di pertengahan subuh aku tergoda membuat secangkir kopi, kembali meneruskan tanpa meregangkan punggung sejenak. Betapa tidak, setiap nafsu sastra mengalir. Mata tetap melotot meski hanya ditemani lagu bisu. Lagu yang justru makin menandaskan kian kentalnya kesunyian. Kala paginya tiba, hukuman demi hukuman aku terima akibat keterlambatan dinas di Rumah Sakit. Awalnya kebanyakan waktu saya normal seperti hari biasanya. Menikmati malam dalam tidur yang lelap, hingga mata di paginya terasa begitu renyah. Tapi semua berubah ketika aku berkenalan dengan dunia penulisan. Hidup menjadi sebatang kara. Bukan saja tanpa kawan, tapi tanpa kekasih.

Hal ini menunjukkan bahwa menjadi penulis teramat sulit. Kian panjang karier kepengarangan seseorang, kian panjang pula jalan sunyi yang telah ditempuhnya. Dia menempuhnya seorang diri belaka. Larut dalam malam, dan bahkan hilang-lenyap ditelan hinaan dan penolakan. Boleh dikatakan, dilanda sebentuk kematian yang begitu mutlak. Tiba-tiba aku teringat Chairil Anwar, si penyair-bohemian, yang memekikkan kepada dunia, "Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang!" Terlintas juga nama Friedrich Nietzsche di benakku, filsuf eksistensialisme Jerman, yang disebut-sebut sebagai "manusia paling kesepian di awal abad ke-20".

Aku sudah terlanjur melakoni jalan ini. Bahkan kematian yang siap menerkam akan kuterima dengan lapang dada. Karena yang aku tahu, Tuhan tidak mengabadikan jazadku, maka aku mencari keabadian melalui tulisan.

By Wahyu Tarman
Ditulis pada pukul 00.00

Selasa, 17 Juli 2012

Malam Sunyi di Taman Rot Fai, Thailand



Masih dengan topik keheningan, di sampingnya berjejer pohon pinus yang beberapa daunnya menguning, siap gugur. Tentang seorang gadis duduk di taman Rot Fai yang mampu mengabadikan kereta api tua Thailand. Tak banyak orang di petang itu. Hanya beberapa penduduk asli terlihat mengendarai sepeda.

Hari baru saja gelap saat ia duduk di sana seorang diri, memperhatikan lampu-lampu kendaraan dari kejauhan, mirip kunang-kunang yang kebingungan. Melamun. Ya, perempuan itu cuma melamun.
Tanpa dia tahu seorang lelaki memperhatikannya sejak tadi, menekan berkali-kali nafasnya. Lelaki yang selalu setia menjaganya dari jarak jauh, meski air mata dan cinta dalam dirinya tak pernah diketahui. Perlahan lelaki itu mendekat, sekadar ingin menghibur seandainya saja ia sedang sedih. Tapi perempuan itu tidak bergeming masih bersandar di bangku taman, sehelai daun pinus rontok dan diam di pundak lelaki itu. Seperti sedang menyapa sebuah patung cantik. Angin yang menggoyangkan daun dan dahan pun diacuhkannya, gadis itu diam saja. Melamun.
“Hei, pikirkan apa sih?”
Lelaki itu mengulang usahanya. Berharap bisa berkenalan. Bertukar alamat. Tapi perempuan itu hanya menggeleng, lalu pergi. Masihkah lelaki itu mencintainya?

"Akan terus berharap," tuturnya mantap.

Tapi entahlah. Jika hati tak mudah berkompromi, itu hal biasa. Yang aku takutkan, takdir yang menolak berkompromi

– Di Taman Rot Fai, Thailand –
By Wahyu Tarman

Titik Balik Sejarah Tuhan


Sepuluh tahun sudah. Perempuan itu menunggu kapal suaminya menepi. Pelbagai berita kematian ia hiraukan. Dan kini, sesuai niat dan janji ia kembali ke dermaga yang sama. Berusaha meyakinkan diri dalam kekosongan dan kehampaan.

Perempuan itu bertanya-tanya sambil matanya menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin membayangkan saat ia dan suaminya sejenak melepas penat saat itu, atau tempat berduaan ketika ombak laut menghajar kenangan mereka. Saat matanya menatap mata perempuan itu. Saat mereka beradu mata. Itu sudah lama sekali, sepuluh tahun lalu.

Lalu wanita itu mengambil kerikil dan melempar jauh ke permukaan laut. Mungkin semacam doa, mungkin juga sebentuk kekecewaan. Sementara perempuan itu kembali duduk sambil sesekali mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama kemudian ia membuka mulut. Berkata pada diri sendiri.

"Sunggung kau tega amnesia ketika aku di sini mati-matian melupakanmu"

Sudah cukup lama penantiannya hari ini. Ia memutuskan untuk kembali sejenak. Menaikkan kain ke wajahnya untuk mencegah butiran pasir menggasak muka dan matanya. Sesaat kemudian, perempuan itu pamit lalu. Tanpa menoleh sedikit pun. Dari belakang kau dapat melihat langkahnya begitu lemah. Sesekali terantuk. Sesekali berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya perempuan itu dari pandangan matamu.

Inilah titik balik sejarah Tuhan. Ketika semua buku sejarah menulis bahwa kematian adalah keabadian dari Tuhan. Perempuan itu melakukan titik balik, melawan takdir Tuhan dalam sebuah penantian abadi.

*) Wahyu Tarman, lahir di Sulawesi Selatan. Bukunya yang telah terbit; Jalan Sunyi Pada Sebuah Malam (2008), Ingatan Yang Luka (2010). Saat ini menjadi perangkai jaringan rusak di RS. Wahidin, Makassar.

Senin, 16 Juli 2012

Terasing di Negeri Jahanam-ku


Di siang garang, trotoar jalan menopang lembut tubuhku. Jauh di pelupuk pandang aku melihat balita menangis sesegukan di trotoar jalan. Ya, seorang pengemis cilik, di lapangan kota, diseret seperti gelandang dalam sebuah iring-iringan riuh kendaraan. Mirip anak bebek yang kehilangan induknya. Dengan langkahnya yang masih kaku, linglung mencari ibunya, memekik memekakkan telinga. Ini bukan cerita omong kosong yang kau buat sesuai kehendak otakmu. Ini sebuah realita di negeriku yang bagiku mirip pulau kematian. Sebentar lagi, sejelang lagi, akan tercetus kematian seorang pengemis cilik yang merobek-robek kesadaran nuranimu kelak di kemudian hari.

Di negeri neraka jahanam ini didandani oleh para tikus-tikus pejabat. Inilah hasil bagi korban yang teraniaya karena ketakberdayaan membela diri atau berdebat tentang mana tugasmu, mana yang mengumbar janji sebelum memegang tahta, mana ini mana yang itu. Dan kematian itu bukan lagi semacam gertakan bagi negeri ini. Sebab sekarang ini ia sudah di tengah-tengah jalan besar kota. Sementara tangannya melipat ke belakang berdempet dengan punggungnya yang mungil. Cukup untuk melukai hati saat semua kendaraan bergerak dan berusaha meronta memburu jam kantor tanpa ada seorang pun yang berusaha menolongnya.Begitu pun bagi mereka yang berodakan empat. Lebih buruknya lagi mungkin ada yang menyaksikannya semacam hiburan.

Tentu aku tak membiarkannya bertahan lama. Beberapa detik kemudian aku berlari tanpa balutan alas kaki. Meski aku tak tahu ia anak siapa, aku tak segan-segan melewati lajunya kendaraan yang mungkin bisa membunuhku. Atau berjingkrak-jingkrak di atas panasnya aspal jalan. Dan di siang hari yang ganas, di tengah lapangan kota, aku menyeruak di antara orang-orang yang menganggapku berlebihan. Berlapis-lapis kesedihan melingkariku mirip ikat pinggang. Aku hampir saja meraihnya saat mobil truk mendahuluiku, menempel di tubuhnya hingga koyak. Dicabik-cabik luapan nafsu dunia.

Orang-orang mengerumuninya memperhatikannya dalam-dalam. Dari ujung rambut yang menggerai berantakan hingga ujung kakinya yang terkelupas terpapas tanah di sepanjang jalan penyeretan. Dan matamu berhenti di mulutnya. Kau melihat sesuatu di bibirnya. Seperti sepotong puding di bibir yang memerah darah. Dan di bibir yang mengunyah puding itu kaulihat sebarisan pawai kata-kata pilu dan lelah -- juga terluka parah dari peperangan nasib Tuhan yang sedang dan masih berlangsung. Kau lihatkan (kataku dalam diam) harusnya kalian yang lebih dekat segera melompat dan menolongnya sedari awal.

Hingga kau lihat ketika separuh tubuhnya sudah tak seutuh dulu lagi, semua orang mengambil posisi memandanginya, menyadari bahwa tingkahku tadi tidak "berlebihan". Kini, kau hanya menyaksikan itu semua dengan tangan menutup muka. Seperti mata yang tak rela melihat darah mengucur. Tak lama berselang kau pun berlalu bersama berlalunya yang lain. Tapi tidak kembali ke rumah, tapi menuju kuburan balita malang itu. Lalu semua itu berlalu begitu saja, mirip pasir tertiup pusaran angin. Hilang tanpa jejak. Mungkin karena ia hanya anak jalan. Anak yang kotor dan menjinjikkan. Menyebarkan bau amis dan membuat muntah biri-biri yang berpapasan. Serupa sampah yang sudah berbulan-bulan tak pernah dibakar atau ditanam.

Tentu berbeda jika saja ia cucu pak SBY, aku pikir semua warga di tempat itu akan di seret ke meja hijau. Mmmm...

***
By : Wahyu Tarman

Minggu, 15 Juli 2012

Danau Mawang


Aisyah, wanita dengan kemeja yang warnanya hampir sama dengan rumput paspalum. Sore, di danau mawang beratap langit kelabu. Sudah 17.30 harusnya gadis itu sudah datang, duduk di bebatuan menatap ke keheningan mawang, menunggu kakek tua itu menepikan rakitnya setelah puas melampiaskan hobi memancing ikan tawar, membuang hari tuanya hilang dibawa arah.

Seperti itulah tiap sore perempuan berhati emas itu menunggu lalu selesai tanpa sepotong kata apa pun. Tapi hari ini … langit agak mendung, musim hujan, mungkin sebentar lagi gerimis pertama Desember tiba. Perempuan itu duduk dan menunggu, tanpa hiraukan ada yang sudah menunggunya juga sejak 400 menit yang lalu. Tangannya menengadah mengecek apa gerimis mau menyentuhnya atau tidak. Sebelum gerimis menyentuh telapak tangannya.

Tiba-tiba ada yang menyentuh pundak perempuan itu. Seakan kompak dengan Tuhan, lelaki itu berkemeja kelabu mirip dengan langit di sore itu. Sudah 400 menit aku menunggunya, tapi bukan aku yang menyapanya terlebih dulu.
“Ya?” wanita itu menoleh.
“Air danau mawang hampir sama besar dengan air mata perempuan yang melahirkan selama sepekan,” canda lelaki itu.
Dan perempuan itu hanya mengernyit “Maksudmu?”

Begitulah sore menahan gerimis turun. Rumput paspalum menari riang mengikuti gesekan nada-nada merdu dari angin. Mungkin Desember sedang menyiapkan satu album kenangan untuk mereka… Entahlah… Ini baru pertemuan, mungkin perpisahan sedang menunggu di satu sore lainnya.

Di bawah langit kelabu aku pergi meninggalkan mereka. Semoga albumnya bersamaku bukan bersamanya, harapku. Mmm, semoga albumnya berwarna merah jambu.

*ditulis terburu-buru, sesaat sebelum berangkat melayani keluhan di RS. Wahidin.

~ wahyu tarman ~

Jumat, 18 Mei 2012

Aku, Kau, dan Tuhan


Hidup mereka mengembara dari hutan ke hutan
Di setiap persinggahan mereka membangun gubuk
Di dalamnya ada aku, kau, dan Tuhan
Bersama dalam ingatan yang terbawa angin dan ombak

(Perjalanan Kota Makassar - Pulau Pinus)