Rabu, 18 Juli 2012

Filosofi Seorang Penulis



Kendati hurufnya kecil-kecil menyiksa penglihatan, seratus halaman berlalu dalam semalam. Di pertengahan subuh aku tergoda membuat secangkir kopi, kembali meneruskan tanpa meregangkan punggung sejenak. Betapa tidak, setiap nafsu sastra mengalir. Mata tetap melotot meski hanya ditemani lagu bisu. Lagu yang justru makin menandaskan kian kentalnya kesunyian. Kala paginya tiba, hukuman demi hukuman aku terima akibat keterlambatan dinas di Rumah Sakit. Awalnya kebanyakan waktu saya normal seperti hari biasanya. Menikmati malam dalam tidur yang lelap, hingga mata di paginya terasa begitu renyah. Tapi semua berubah ketika aku berkenalan dengan dunia penulisan. Hidup menjadi sebatang kara. Bukan saja tanpa kawan, tapi tanpa kekasih.

Hal ini menunjukkan bahwa menjadi penulis teramat sulit. Kian panjang karier kepengarangan seseorang, kian panjang pula jalan sunyi yang telah ditempuhnya. Dia menempuhnya seorang diri belaka. Larut dalam malam, dan bahkan hilang-lenyap ditelan hinaan dan penolakan. Boleh dikatakan, dilanda sebentuk kematian yang begitu mutlak. Tiba-tiba aku teringat Chairil Anwar, si penyair-bohemian, yang memekikkan kepada dunia, "Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang!" Terlintas juga nama Friedrich Nietzsche di benakku, filsuf eksistensialisme Jerman, yang disebut-sebut sebagai "manusia paling kesepian di awal abad ke-20".

Aku sudah terlanjur melakoni jalan ini. Bahkan kematian yang siap menerkam akan kuterima dengan lapang dada. Karena yang aku tahu, Tuhan tidak mengabadikan jazadku, maka aku mencari keabadian melalui tulisan.

By Wahyu Tarman
Ditulis pada pukul 00.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar