Kendati hurufnya kecil-kecil menyiksa penglihatan, seratus halaman berlalu dalam semalam. Di pertengahan subuh aku tergoda membuat secangkir kopi, kembali meneruskan tanpa meregangkan punggung sejenak. Betapa
tidak, setiap nafsu sastra mengalir. Mata tetap melotot meski hanya ditemani lagu bisu. Lagu yang justru makin
menandaskan kian kentalnya kesunyian. Kala paginya tiba, hukuman demi hukuman aku terima akibat keterlambatan dinas di Rumah Sakit. Awalnya kebanyakan waktu saya normal seperti hari biasanya. Menikmati malam dalam tidur yang lelap, hingga mata di paginya terasa begitu renyah. Tapi semua berubah ketika aku berkenalan dengan dunia penulisan. Hidup menjadi sebatang kara. Bukan saja tanpa kawan,
tapi tanpa kekasih.
Hal
ini menunjukkan bahwa menjadi penulis teramat sulit. Kian panjang karier
kepengarangan seseorang, kian panjang pula jalan sunyi yang telah
ditempuhnya. Dia menempuhnya seorang diri belaka. Larut dalam malam,
dan bahkan hilang-lenyap ditelan hinaan dan penolakan. Boleh dikatakan, dilanda sebentuk kematian yang begitu mutlak. Tiba-tiba aku teringat Chairil Anwar, si penyair-bohemian, yang memekikkan kepada
dunia, "Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang!" Terlintas juga nama Friedrich Nietzsche di benakku, filsuf
eksistensialisme Jerman, yang disebut-sebut sebagai "manusia paling
kesepian di awal abad ke-20".
By Wahyu Tarman
Ditulis pada pukul 00.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar