Selasa, 17 Juli 2012

Titik Balik Sejarah Tuhan


Sepuluh tahun sudah. Perempuan itu menunggu kapal suaminya menepi. Pelbagai berita kematian ia hiraukan. Dan kini, sesuai niat dan janji ia kembali ke dermaga yang sama. Berusaha meyakinkan diri dalam kekosongan dan kehampaan.

Perempuan itu bertanya-tanya sambil matanya menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin membayangkan saat ia dan suaminya sejenak melepas penat saat itu, atau tempat berduaan ketika ombak laut menghajar kenangan mereka. Saat matanya menatap mata perempuan itu. Saat mereka beradu mata. Itu sudah lama sekali, sepuluh tahun lalu.

Lalu wanita itu mengambil kerikil dan melempar jauh ke permukaan laut. Mungkin semacam doa, mungkin juga sebentuk kekecewaan. Sementara perempuan itu kembali duduk sambil sesekali mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama kemudian ia membuka mulut. Berkata pada diri sendiri.

"Sunggung kau tega amnesia ketika aku di sini mati-matian melupakanmu"

Sudah cukup lama penantiannya hari ini. Ia memutuskan untuk kembali sejenak. Menaikkan kain ke wajahnya untuk mencegah butiran pasir menggasak muka dan matanya. Sesaat kemudian, perempuan itu pamit lalu. Tanpa menoleh sedikit pun. Dari belakang kau dapat melihat langkahnya begitu lemah. Sesekali terantuk. Sesekali berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya perempuan itu dari pandangan matamu.

Inilah titik balik sejarah Tuhan. Ketika semua buku sejarah menulis bahwa kematian adalah keabadian dari Tuhan. Perempuan itu melakukan titik balik, melawan takdir Tuhan dalam sebuah penantian abadi.

*) Wahyu Tarman, lahir di Sulawesi Selatan. Bukunya yang telah terbit; Jalan Sunyi Pada Sebuah Malam (2008), Ingatan Yang Luka (2010). Saat ini menjadi perangkai jaringan rusak di RS. Wahidin, Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar