Senin, 16 Juli 2012

Terasing di Negeri Jahanam-ku


Di siang garang, trotoar jalan menopang lembut tubuhku. Jauh di pelupuk pandang aku melihat balita menangis sesegukan di trotoar jalan. Ya, seorang pengemis cilik, di lapangan kota, diseret seperti gelandang dalam sebuah iring-iringan riuh kendaraan. Mirip anak bebek yang kehilangan induknya. Dengan langkahnya yang masih kaku, linglung mencari ibunya, memekik memekakkan telinga. Ini bukan cerita omong kosong yang kau buat sesuai kehendak otakmu. Ini sebuah realita di negeriku yang bagiku mirip pulau kematian. Sebentar lagi, sejelang lagi, akan tercetus kematian seorang pengemis cilik yang merobek-robek kesadaran nuranimu kelak di kemudian hari.

Di negeri neraka jahanam ini didandani oleh para tikus-tikus pejabat. Inilah hasil bagi korban yang teraniaya karena ketakberdayaan membela diri atau berdebat tentang mana tugasmu, mana yang mengumbar janji sebelum memegang tahta, mana ini mana yang itu. Dan kematian itu bukan lagi semacam gertakan bagi negeri ini. Sebab sekarang ini ia sudah di tengah-tengah jalan besar kota. Sementara tangannya melipat ke belakang berdempet dengan punggungnya yang mungil. Cukup untuk melukai hati saat semua kendaraan bergerak dan berusaha meronta memburu jam kantor tanpa ada seorang pun yang berusaha menolongnya.Begitu pun bagi mereka yang berodakan empat. Lebih buruknya lagi mungkin ada yang menyaksikannya semacam hiburan.

Tentu aku tak membiarkannya bertahan lama. Beberapa detik kemudian aku berlari tanpa balutan alas kaki. Meski aku tak tahu ia anak siapa, aku tak segan-segan melewati lajunya kendaraan yang mungkin bisa membunuhku. Atau berjingkrak-jingkrak di atas panasnya aspal jalan. Dan di siang hari yang ganas, di tengah lapangan kota, aku menyeruak di antara orang-orang yang menganggapku berlebihan. Berlapis-lapis kesedihan melingkariku mirip ikat pinggang. Aku hampir saja meraihnya saat mobil truk mendahuluiku, menempel di tubuhnya hingga koyak. Dicabik-cabik luapan nafsu dunia.

Orang-orang mengerumuninya memperhatikannya dalam-dalam. Dari ujung rambut yang menggerai berantakan hingga ujung kakinya yang terkelupas terpapas tanah di sepanjang jalan penyeretan. Dan matamu berhenti di mulutnya. Kau melihat sesuatu di bibirnya. Seperti sepotong puding di bibir yang memerah darah. Dan di bibir yang mengunyah puding itu kaulihat sebarisan pawai kata-kata pilu dan lelah -- juga terluka parah dari peperangan nasib Tuhan yang sedang dan masih berlangsung. Kau lihatkan (kataku dalam diam) harusnya kalian yang lebih dekat segera melompat dan menolongnya sedari awal.

Hingga kau lihat ketika separuh tubuhnya sudah tak seutuh dulu lagi, semua orang mengambil posisi memandanginya, menyadari bahwa tingkahku tadi tidak "berlebihan". Kini, kau hanya menyaksikan itu semua dengan tangan menutup muka. Seperti mata yang tak rela melihat darah mengucur. Tak lama berselang kau pun berlalu bersama berlalunya yang lain. Tapi tidak kembali ke rumah, tapi menuju kuburan balita malang itu. Lalu semua itu berlalu begitu saja, mirip pasir tertiup pusaran angin. Hilang tanpa jejak. Mungkin karena ia hanya anak jalan. Anak yang kotor dan menjinjikkan. Menyebarkan bau amis dan membuat muntah biri-biri yang berpapasan. Serupa sampah yang sudah berbulan-bulan tak pernah dibakar atau ditanam.

Tentu berbeda jika saja ia cucu pak SBY, aku pikir semua warga di tempat itu akan di seret ke meja hijau. Mmmm...

***
By : Wahyu Tarman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar