Ia terbangun pada suatu hari ketika gelap mengepung jendela. Tak
jelas, apakah ini malam, pagi buta, atau gerhana cincin. Dingin menjelma
sebentuk lukisan dan bayangan mirip sayatan niddle di ruang operasi. Di
luar jendela, udara hangat oleh daun-daun yang ranum. Sudah lama
paru-parunya di isi oleh asap tembakau dalam ruang sempit memilukan. Itu
yang membuatnya melangkah kebelakang agar pohon besar itu memberinya
sedikit hembusan nafasnya.
Ini adalah sebuah riwayat
tanpa judul. Karena tak ada kata yang tepat mendeskripsikan
kesedihannya. Bahkan kata 'malam' pun tak mampu menjadi kata yang tepat,
meski kata itu menjadi situasi favorit bagi beberapa penulis. Di atas
deret jembatan rapuh ia mengaduh pada Tuhan.
"Betapa
kini kita telah menempuh dua jalan yang berbeda. Kau berjalan ke timur,
dan aku menempuh sisi lain dari bumi ini. Sungguh kau tega
amnesia ketika aku di sini, sedang mati-matian melupakanmu."
~ Wahyu Tarman ~
Mengalir begitu saja di marina coffe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar