Rabu, 25 Juni 2014

Perjanjian Baru

Hujan menyapa di tanah Sinjai
Bunyi benturannya menjamah atap dan jiwaku
Mengingatkan-ku pada selimut sutra
Di mana tubuhmu berkerut dan menekuk

Lama dan meletihkan
Dikerat jiwa yang rapuh
Tak sekalipun aku meragukan
Bahwa aku lahir untuk mencintaimu

Lerai menuju nalarmu yang pernah damai
Dan kukembalikan segala dokrin-ku
Yang pernah aku hantar
Sebab tak ada lagi memori yang mesti dibuang

Setiap detik aku merambatkan munajat
Demi matang sempurna cinta ini
Kujulurkan cinta ke sulur-sulurmu
Sebab jiwamu dalam diriku tak akan padam

Hujan menyapa kembali di hari ke-dua
Tetes-tetesnya yang berjingkat
Mengingatkanku pada Perjanjian Baru kita
Yang kau tampung dalam gentong air

Kau berkata ;
Bahwa suatu ketika saat masa memenuhi gelas
Kau datang menghangatkan malam sepiku
Dan di saat itu, jiwaku sesaat berakhir di keningmu

Oleh : Wahyu Tarman
Sinjai, 26-06-2014

Perjanjian Lama

Siapa Hawa yang diciptakan Tuhan itu?
Perempuan yang cantik, suci, tapi mengusik imanku,
Kau bayangkan, kaum Adam terpaksa minum bir,
Langkahku kini goyah, hanya cahayamu yang mampu membimbingku.
 
Aku bahkan duduk setiap malam selama sepekan,
Mencari di dunia mana kau berada?
Tidak-kah kamu menyadari, aku di sini jika kau mau lihat,
Melukis kebersamaan kita di bawah Pohon Quldi.

Ini tulisan tentang kabar dan kesunyian,
Apakah kau membawa kabar Tuhan dari langit?
Bila saatnya dunia berganti alam di jauh sana,
Siap-kah kau hidup abadi denganku?

Aku sudah berkali-kali mengatakan ini dalam perjajian lama,
Dalam perjanjian cinta itu aku bersumpah padamu,
Suatu hari kau akan mengerti siapa yang paling mencintai,
Dalam mihrab cinta, aku berdoa pada-Nya.

Oleh : Wahyu Tarman
Sinjai, 25-06-2014

Kamis, 05 Juni 2014

Seorang Gembala Domba

Seruas tulang iga yang bersinar
Menyilaukan buah khuldi di gelapnya malam
Wajahmu membuat kaum Adam terusir dari Surga
Menghempaskanku jauh direrumputan yang berbatu

Aku beku
Melihat bayangmu di Taman Eden
Awan dan gelap tak datang menghalangi
Tapi kau tampak menangis sesegukan tangis

Malaikat di sampingmu hanya membisu
Dan purnama dibelakangmu meredup
Sedang domba lapar melayang mendekatimu
Mengepakkan sayap dan ekornya, lalu membelaimu

Aku terkesima
Domba itu mengikis nafsu laparnya
Ia bagai manusia yang bernyanyi
Di bawah langit bertabur bintang dan sabit

Perlahan seorang gembala mendekatimu
Seperti tertiup angin dan rapuh
Membawamu pergi secepat meteor
Menembus cahaya yang semakin redup

Sinjai, 05-Juni-2014
Oleh : Wahyu Tarman

Selasa, 03 Juni 2014

Sepenggal Sabda Sastra

Engkau adalah insan yang lahir di antara deretan aksara buku,
Kau membuatku berpedoman pada jenis cinta yang abstrak,
sedangkan kau lebih memahaminya sebagai sabda-sabda yang suci,
maka kita bertemu pada akar yang kuat.

Dan aku memutuskan: sampai di sini saja penjelajahan cinta-ku,
aku akhirnya sampai ke dermaga terakhir,
kau telah membawaku dalam petualangan nalar cinta secara kaffah,
di sana ada jiwamu yang paling dingin bagai bulan di malam purnama.

Diantara sepenggal sabda ini,
Aku mengajakmu duduk berteman secangkir kopi,
Sambil mencicipi sastra karya Buya Hamka,
Tiada lain untuk mengukir satu sejarah bersamamu.

Berawal di zaman demokrasi yang dipimpin Bung Karno,
Dimana para sastrawan Muslim dan komunis bergulat ideologi,
Di satu ruang dan lentera yang berbeda zaman,
Aku dan kau memiliki secarik sastra yang tak kalah ideologis.

Jangan salahkan Dewa jika ia tak mampu memisahkan kita,
karena aku akan membuktikan padamu dan padanya,
cinta ini jauh di ujung horizon sampai ke dalam jiwa,
bahwa kisah ini berakar di atas namamu.

Sinjai, 03-Juni-2014
Wahyu Tarman

Selasa, 01 Oktober 2013

Buitenzorg, Kota Hujan

Suratku berkata...
lenyap ini kian tak bertepi,
hancur dimakan sepi, 
kenangan dalam mozaik cinta,
di kedamaian hati yang semakin sulit.

Suratku bersuara...
telah kutinggalkan cemburu di sudut kamar gelap,
telah kuhanyutkan duka,

pada sungai kecil yang mengalir dari mataku,
darimu aku melihat sisi lain hidup ini.

Suratku berdoa,
di kota tanpa kecemasan,
telah kukabarkan lewat angin gerimis tentang segala catatan hati,
di tiap jengkal terhampar harapan,
dalam sajadah tahajud dan sujud panjang.

Maafkan atas keburukanku...

(Oleh Wahyu Tarman, di klinik Griya Sehat, Kota Bogor, pukul 00.00)

Selasa, 09 Juli 2013

Malaikat Berjubah Hitam Itu

Dahulu kala, ribuan tahun jauh sebelum manusia diciptakan
Setelah Lauhful Mahfudz, bumi, langit, surga, neraka diciptakan
Wajah iblis amat tampan, jubah hitam berkilau, taat kepada Tuhan
Iblis dalam hatinya bertanya, salahkah bila aku cemburu pada Adam?

Namun, hal itu cukup membuat Iblis menentang Penguasa Jiwa
Dengan bijaksana, Tuhan memerintahkan Iblis untuk kembali ke Neraka
Mencabut semua kehormatan dan hak prerogatif Iblis

Iblis  memohon restu kepada Tuhan untuk menggoda manusia
Iblis membuat beberapa perangkap instan
Salah satunya tiga perangkap dalam Hadis Riwayat Ad Dailami

Manusia dilaknat jika membenci kedua orangtuanya
Memperbudak kedua ibu bapaknya
Membuat ibunya menitikkan air mata

Di bulan ini, jangan angkuh atau malu untuk meraih tangan kedua orangtua
Tak ada kedamain tanpa restu mereka
Yang ada hanyalah kekacauan jiwa yang tak habis dalam ribuan kertas yang kau tulis

Mohon Maaf Lahir Bathin

Senin, 08 April 2013

Aku dan Dia Duduk Menyaksikan Perseids

Malam itu, kami berada di puncak Planetarium. "Coba lihat ini." Yun yang tadi duduk, berdiri, dan memasukkan bola matanya ke pangkal teropong. Bersama-sama kami seakan naik menuju atap bumi.

Malam menyelimuti kami. Hujan meteor seperti kembang api, percikan-percikan cahaya dalam kabut kegelapan. "Wah, seru!" teriak Yun, lalu ia berbaring agar bisa melihat lebih jelas.

"Itu Perseids," kataku memberitahunya. "Hujan meteor."

Bintang jatuh sebenarnya sama sekali bukan bintang. Itu hanyalah bebatuan yang memasuki atmosfer dan mengeluarkan api akibat gesekan. Saat kita melihat bintang jatuh, dan mengucapkan harapan, sebenarnya harapan itu hanyalah jejak luka dari sisa-sisa batu yang terkikis.

"Asyik kali ya kalau ada bintang yang mendarat di halaman? Dan kita bisa menemukannya saat terbangun lalu menaruhnya di mangkuk akuarium dan menggunakannya sebagai lampu penerang saat kita berjalan di halaman belakang."

Aku hampir bisa membayangkan Yun melakukannya, menyisir rumput halaman untuk menemukan tanda-tanda rumput terbakar.

"Apakah menurutmu, kita bisa membawanya dalam kehidupan kita? Alat yang dapat mempertemukan kita saat kita terpisah di koridor gelap?"

Tatapan Yun begitu tajam, aku tahu ia ingin bertanya apakah aku tidak akan meninggalkannya?

Setiap detik, muncul pancaran sinar keperakan. Aku dan dia ingin di tempat yang sama saat jiwa-jiwa yang terbuat dari cahaya menjemput kami. Kata-kata itu terlalu sulit diucpakan.


Dalam kesendirian. Aku bangkit dari memory saat duduk bersamanya menyaksikan Perseids. Itu sudah lama sekali. Tapi aku selalu percaya, Tuhan akan mempertemukan kami. Di kehidupan ini, atau di sisi yang berbeda.

By : Yuda Tarman
Gambar : Dikutip dari http://www.imajie.com/2010_08_01_archive.html